Wujud itu berwarna hitam. Seperti menunggu seseorang di luar pagar rumah Andi. Sudah dua hari wujud itu berada disitu. Entah menunggu apa dan siapa.
“Ah, mungkin itu asap bakaran sampah tetangga, Ndi.” kata ibu. Ibu tidak bisa melihat wujud itu.
“Asap hitam? Dimana? Di sini? Bapak enggak lihat apa-apa.” begitu juga bapak.
“Kak Andi jangan suka ngelantur deh.. Makanya jangan kebanyakan main game, tuh jadinya suka ngelihat yang aneh-aneh!” ujar adik perempuannya, Amel.
Andi sekarang melihat wujud hitam itu dari dekat. Andi tidak bisa memegangnya. Bentuknya seperti asap. Tidak seperti manusia. Tapi terus bergerak. Saat menyentuhnya, wujud itu ikut bergerak dan bersuara, suara seperti bangku kayu yang diseret, krekkk… Krek… Pikiran Andi menjadi makin kacau. Perasaannya tidak enak.
“Kayaknya kamu kudu minum obat deh! Hahaha..” ujar Mamat sambil tertawa keras mendengar keluh kesah Andi tentang wujud asap hitam di depan pagar rumahnya.
“Kamu lagi enggak ngobat kan?”bisik Kiki, temannya yang satu lagi. Dia mengeluarkan beberapa bungkus kecil barang terlarang dari sakunya dan menyodorkannya diam-diam ke Andi.
Andi menepis tangan Kiki. Mukanya kecut. Mamat merangkul pundak Andi, “Tenang, Ndi! Rileks aja.. Kamu kurang tidur kali….”
“Tapi Mat, bentuknya makin lama makin besar Mat. Seminggu lalu masih kira-kira sekepalan tangan, sekarang udah sebesar bola basket lah. Melayang depan pagar rumah.” ujar Andi setengah menjerit. “Aku jadi nggak bisa tidur! Tiap kali liat keluar jendela kamar, aku lihat wujud itu terus! Bahkan wujud itu masuk ke mimpiku juga!”
Andi menjenggut rambutnya. “Hei… Rileks.. Rileks… Kita enggak lihat apa-apa pas ke rumah kamu kemarin. Itu cuma ada dipikiran kamu, Ndi..” ujar Kiki.
“Iya, aku rasa kamu emang lagi kurang tidur atau stres sama pelajaran aja tuh!” timpal Mamat.
Andi menggigit kuku jari tangannya. Tidak ada yang bisa melihat wujud itu. Kenapa hanya Andi yang bisa melihatnya? Kenapa bahkan Mamat yang terkenal indigo tidak bisa bisa melihatnya juga? Suara dari wujud itu terngiang-ngiang ditelinga Andi. Krieekkk.. Kriekkk..
Malam itu langit mendung tebal, sesekali terdengar gemuruh. Andi sedang menerima tamu di rumahnya. Pak RT, bu RT, ustad masjid dan seorang tetangga. Bu RT mengusap -usap punggung Andi sambil sedikit terisak. “Sabar ya nduk.. Sabar…” ujarnya.
” Nak Andi enggak usah khawatir, nanti saya selaku RT dan warga disini akan bantu urusan jenazah dan pemakaman. Andi tenang aja, ikhlas.. Sambil terus berdoa.. Kami mohon ijin tinggal sebentar disini sambil menunggu mobil jenazahnya tiba.” timpal Pak RT. Nada suaranya bergetar saat mengucap hal itu.
“Yuk, Andi ikutin saya baca Al-Fatihah dulu, jangan diam begitu. Yang ikhlas, yang tegar, yuk.. Baca… Ikuti saya.” perintah pak Ustad sambil memegang pergelangan tangan kanan Andi.
Andi tidak mengucapkan sepatah katapun dari tadi. Dia menatap lurus kedepan, didepannya dia melihat wujud hitam itu sudah membesar, sebesar orang dewasa, tidak berbentuk orang dan bersuara, krieekkk.. Kriekkk…
Lalu tiba-tiba ingatan Andi berputar ke dua minggu lalu, saat pertama kali melihat wujud itu didepan pagar rumahnya, yang menghantui mimpinya, membuatnya tidak bisa tidur, dan tidak ada yang bisa melihatnya. Andi juga ingat bagaimana wujud itu makin lama makin membesar dan bersuara tiap kali Andi menyentuhnya. Bentuknya seperti asap hitam pekat yang melayang, seolah mengejeknya, menembus semua yang melewatinya. Tidak ada yang percaya omongannya, padahal dia jelas sekali melihatnya.
Malam ini, malam penuh kesedihan ini, saat semua keluarganya dan teman-temannya tewas kecelakaan, wujud hitam itu tidak lagi di depan pagar lagi, tapi selalu ada di depan mata Andi sambil bersuara. Kriek..kriek… Tiba-tiba Andi tertawa, tawa yang sangat keras, membuat seluruh tubuhnya berguncang. Pak RT, bu RT, pak Ustad dan tetangganya memegangi tubuhnya, dan membaca doa.
Leave a Reply